Just A Reading

Chapter 8: Tamu Favorit 

Dari sekian banyak tamu Kafeku, ada 2 tamu yang merupakan favoritku. Mereka tidak terlalu sering datang. Hanya kadang-kadang saja mereka datang, itu pun di malam hari. Kehadirannya yang hanya sekali-sekali justru membuatku semakin mengharap-harapkannya.

Seorang perempuan dengan anak laki-lakinya. Sang perempuan bertubuh sedang, berkulit putih bersih, berambut hitam panjang, cantik sekali. Di wajahnya berpendar cahaya. Senyumnya sangat keibuan. Matanya begitu indah, membawa kesejukan bagi yang melihatnya. Gerak-geriknya sungguh mempesona.

Anak laki-lakinya berusia 2 tahun. Anak yang tampan. Badannya kecil untuk ukuran seusianya. Namun dia pandai dan aktif sekali. Dia suka tersenyum. Kepada siapa saja. Senyumnya sunggu manis. Semua orang berkata begitu. Ramah sekali kepada semua orang, semua tamu dan karyawanku menyukainya.

Mereka selalu datang saat hari sudah malam. Sekitar pukul 8 atau 9 malam. Menunggu sang ayah yang sedang bekerja larut, untuk kemudian bersama-sama pulang.

Saat aku bekerja, baik itu di balik kasir, ataupun sedang mengantar bon pembayaran ke meja-meja, selalu kusempatkan untuk melirik perempuan dan anak itu. Sekedar melihat sedang apa mereka. Kadang bila kebetulan mata kami saling bertatap, kami saling menukar senyum.

Ada saja yang mereka lakukan untuk menunggu waktu. Bermain dengan sendok dan piring, bermain dengan tatakan piring, apa saja dapat dibuat menjadi mainan. Suara tawa mereka sungguh renyah. Apalagi bila sang anak tertawa terbahak-bahak, sungguh membuat orang yang mendengarkan ingin ikut bermain bersama mereka.

Kadang terpancar kelelahan di wajah sang ibu. Merawat seorang anak batita tentu sangat melelahkan. Apalagi tak terlihat adanya babysitter yang membantunya. Sungguh besar pengorbanannya, demi memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun walaupun lelah, tak pernah sekalipun dia memarahi anaknya bila anaknya berbuat nakal. Dia dengan sabar selalu memberi tahu, mengajarkan mana yang baik dan tidak baik, mana yang boleh dan tidak boleh. Dan sang anak selalu mendengarkan dengan diam sambil mengangguk-angguk. Entah benar mengerti atau tidak.

Saat sang anak mulai mengantuk, sang ibu akan menggendongnya. Tak perlu disuruh, karena sang anak pun langsung memintanya. Mungkin itu adalah tempat ternyaman di seluruh dunia ini. Gendongan seorang ibu. Sang ibu pun segera menggendong dengan penuh kasih, sambil sesekali membelai rambut si anak yang tipis. Kadangkala sang anak menjadi rewel dan tidak bisa tidur, sehingga sesekali sang ibu minta izin menggunakan ruangan kantor yang kecil untuk menyusui anaknya. Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Tapi tak pernah terlihat rasa sesal di wajahnya. Yang terpancar hanya rasa cinta yang luar biasa.

Ah, sungguh beruntung sang ayah. Mempunyai istri seperti perempuan itu. Mempunyai anak seperti anak itu.

Hingga sang anak telah terlelap dalam gendongan. Hingga semua tamu Kafeku telah pergi meninggalkan mejanya. Hingga karyawanku satu per satu minta izin pulang. Hingga kini giliranku untuk mematikan lampu dan pendingin ruangan.

Lalu kugandeng tangan perempuan itu, yang masih sambil menggendong sang anak yang tertidur dengan nyenyaknya. Dan kami pun melangkah keluar bersama. Pintu pun kukunci.

Sang ayah telah selesai bekerja, dan mereka pun pulang… bersama-sama.

(Fiction, by Arman, Jakarta, May 25, 2007)

Iklan