Kado Natal

Malam itu, 12 hari sebelum hari Natal, angin bertiup kencang membuat udara terasa sangat dingin menusuk. Aku berusaha menggerakkan tanganku secepat yang aku bisa, memindahkan kantong-kantong belanja dari kereta dorong supermarket ke dalam bagasi mobil. Ingin rasanya secepat mungkin masuk ke dalam mobil dan menyalakan pemanas. Ingin rasanya secepat mungkin sampai kembali ke rumah dan makan sup hangat yang sedang disiapkan oleh istriku tercinta. Keinginan-keinginan itu yang menambah tenaga tanganku yang hampir kaku kedinginan.

Setelah berhasil memasukkan semua kantong belanja secara sembarangan dan menutup pintu bagasi, aku baru menyadari kalau anakku sudah tak ada lagi disampingku! Detik itu juga rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku dan jantungku terasa berhenti berdetak. Kutengok kesekeliling mobil, tapi tetap tak bisa kutemukan dimana dia. Rasa penyesalan langsung mendera. Seharusnya tadi tak kuijinkan dia menunggu di luar mobil. Seharusnya tadi kupaksa saja dia menunggu di dalam mobil walaupun dapat dipastikan dia akan menangis kencang. Seharusnya aku lakukan itu, setidaknya walaupun dia menangis tapi dia tidak hilang!

Segera ku berlari tak tentu arah, mencoba mencari anakku di tengah kegelapan di lapangan parkir itu. Dan ternyata Tuhan masih baik padaku. Tuhan masih mengampuni ku yang lalai mengawasi anakku.

Di ujung gedung supermarket, kulihat anakku. Dia tak apa-apa. Bahkan dia sedang tertawa-tawa dengan suaranya yang khas, kalau tak bisa dibilang melengking, sambil melompat-lompat. Ah, sungguh lega rasanya melihatnya tak kurang satu apapun juga.

Dan disana, bersama anakku, seorang anak perempuan yang mungkin umurnya lebih tua sedikit, sekitar 5 atau 6 tahun, juga sedang tertawa dan melompat-lompat. Entah sedang bermain apa mereka berdua. Tapi sekali lagi aku lega karena ternyata anakku hanya sedang bermain dengan anak yang lain.

Segera kupanggil nama anakku. Anakku melihatku dan melambai sambil tetap tertawa-tawa. Sementara anak perempuan itu, langsung terdiam dan tertegun. Dan sebelum sempat aku bertanya siapa namanya dan dimana orang tuanya, karena tak kulihat ada orang dewasa di sekitar mereka, si anak perempuan itu langsung berlari. Berlari ke sudut belakang bangunan supermarket yang sangat gelap.

Setelah tertegun sedetik, karena rasa penasaran, segera kugandeng tangan anakku, dan kami pun berjalan mengikuti si anak perempuan itu. Dan disitulah aku melihatnya. Duduk di bawah pohon beralaskan sehelai kain kumal. Dan disebelahnya duduk seorang ibu tua yang begitu melihatku, langsung berdiri seraya berjalan menghampiriku sambil meminta uang.

Keterkejutan membuatku berhenti melangkah. Dan saat itu juga kugendong anakku, berbalik badan, dan setengah berlari kulangkahkan kakiku ke arah mobil. Setengah marah dan kesal, kupacu mobilku pulang.

“Jangan bermain dengan orang-orang seperti itu lagi! Mereka tidak pernah mandi. Badan mereka kotor. Pasti banyak kuman penyakit yang bisa dengan mudah berpindah ke badanmu bila kamu berdekatan dengan mereka!”

“Tapi kita hanya bermain…”

“Pokoknya kamu tidak boleh mendekati gelandangan seperti anak itu tadi! Titik. Jangan membantah!”

Dan segala kesibukan menjelang Natal telah membuat kami melupakan kejadian malam itu. Membeli pohon Natal, belanja hiasan dan lampu Natal, menghias pohon Natal, mengirim kartu Natal, dan segala persiapan yang kita lakukan untuk menyambut hari Natal untuk memperingati lahirnya Sang Juru Selamat dengan meriah membuat hari-hari berikutnya terasa sangat cepat berlalu.

Hingga hari yang sangat ditunggu-tunggu pun tiba. Rumah telah dihias cantik, kado-kado telah dibeli, dan menu makan malam lengkap sedang dipersiapkan untuk pesta malam ini. Namun walaupun sudah dipersiapkan dari hari-hari sebelumnya, selalu saja ada yang terlupa di detik-detik terakhir. Dan itulah yang membawaku, dan anakku tentu saja karena dia sangat suka naik mobil dan tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk naik mobil tentunya, kembali ke supermarket itu.

Setelah menyelesaikan belanja secepat kilat, kami pun segera menuju ke pintu keluar. Saat itulah aku teringat bahwa kado-kado Natal masih tersembunyi di dalam bagasi mobil. Saat itu juga aku memutuskan agar anakku menunggu dulu di dalam supermarket, di belakang pintu, sambil menjaga keranjang belanja kami, sementara aku akan ke mobil sendirian untuk menyembunyikan kado-kado dulu sebisa mungkin supaya anakku tak melihatnya nanti. Tentunya tak lupa aku berpesan agar dia menunggu diam disana dan tidak kemana-mana.

Segera kuberlari menuju mobil, menutupi kado-kado dengan kertas koran yang ada di bagasi, dan pada detik pintu bagasi kututup, terdengar bunyi tabrakan yang sangat keras berasal dari belakangku disusul dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga. Langung kuputar badanku mengarah ke pintu supermarket dan disana kulihat tragedi yang mengerikan itu. Sebuah mobil menabrak pintu supermarket sehingga pitu yang terbuat dari kaca itu pun pecah berkeping-keping dan sebuah keranjang belanja terlindas di bawah roda dengan kantong dan beberapa barang berserakan di sekitarnya.

Anakku!! Ya Tuhan…. anakku ada di sana!!!

Kembali jantungku berhenti berdetak, tidak hanya rasa panik yang menjalar di seluruh badanku tapi rasanya aku ingin mati saja!

Segera ku berlari ke arah tabrakan terjadi, namun belum sampai aku ke sana, sekilas kulihat seorang anak dengan muka pucat pasi sedang berdiri tertegun di luar supermarket tidak sampai 10 meter dari situ!

Kakiku pun berlari mengarah kesana. Dan disana kutemukan anakku sedang berdiri ketakutan. Segera kupeluk dan kugendong dia sambil menangis. Saat kutanya apakah dia baik-baik saja, dia hanya mengangguk. Kuteliti seluruh badannya dan memang dia baik-baik saja. Tak ada luka sedikitpun. Puji Tuhan!

Dan perlahan-lahan anakku mulai bercerita. Bahwa setelah aku meninggalkannya di dalam supermarket, si anak perempuan gelandangan memanggilnya dari luar pintu. Tapi dia ingat pesanku untuk tidak bermain dengan si anak perempuan itu. Tapi anak perempuan itu memaksa, katanya dia ingin menunjukkan bahwa dia punya permainan yang baru. Dan karena anakku tetap tak mau keluar, akhirnya anak perempuan itu masuk dan menggandengnya keluar menuju ke arah belakang bangunan tempat dimana mereka bermain pada malam 12 hari yang lalu. Terkejut karena tidak menyangka si anak perempuan akan melakukan itu, keranjang belanja pun tertinggal di dalam supermarket. Dan belum sempat mereka sampai di tempat yang mereka tuju, tabrakan itu pun terjadi.

Mendengar cerita itu, sambil mengusap air mata dan berterima kasih kepada Tuhan, aku segera mengajak anakku untuk mencari anak perempuan itu. Walaupun hanya kebetulan, aku ingin berterima kasih kepadanya. Dan aku ingin memberi sekedar uang supaya dia dan ibunya bisa merayakan Natal ini dengan lebih layak. Aku seperti diingatkan bahwa merayakan Natal seharusnya bukan hanya dengan pesta, pohon Natal dan kado-kado di bawahnya, tapi juga dengan membagi suka cita ini dengan sesama yang tidak mampu. Aku jadi teringat bagaimana Maria dan Yusuf yang ditolak dari semua penginapan yang ada sehingga Yesus harus dilahirkan di kandang domba. Sang Juru Selamat justru terlahir bukan di dalam rumah yang hangat, yang punya pohon Natal dengan hiasan dan lampu-lampunya, dimana banyak kado bertumpuk, dan penuh dengan makanan lezat. Bukan seperti itu. Sang Juru Selamat justru lahir di kandang domba yang dingin, hanya beralas jerami, dan diterangi bintang. Seperti halnya si anak perempuan dan ibunya yang hanya tidur di bawah pohon di belakang supermarket itu.

Kami pun berjalan bergandengan ke arah pohon dimana mereka tinggal. Tapi tak kutemukan mereka disana. Barang-barang mereka pun tak ada lagi di sana. Kami mencari ke seluruh sudut bangunan, namun tak bisa kutemukan mereka. Mungkin mereka ketakutan melihat banyak polisi yang datang. Mungkin mereka takut ditangkap dan sekarang bersembunyi ke tempat yang lain.

Begitupun keesokan harinya, di hari Natal yang cerah, aku bersama istri dan anakku, kembali mencari si anak perempuan dan ibunya. Dari lokasi supermarket, hingga kususuri jalan-jalan di sekitar sana, namun tak juga kutemukan mereka. Dan juga hari-hari berikutnya, tak pernah lagi kulihat mereka.

Mungkin memang mereka takut ditangkap. Mungkin mereka sudah menemukan tempat persembunyian yang lain. Mungkin mereka sudah menemukan tempat lain yang lebih nyaman sebagai tempat tinggal.

Tapi mungkin juga karena tugas mereka sudah selesai disini.

(Fiction, by Arman, Los Angeles, December 13, 2008 )

**********
It’s 12 more days to Christmas…
Are you ready to receive The Saviour?

Iklan