Nasionalisme Vs. Tinggal Di Luar Negeri

Warning: Posting ini sangat sangat panjang. Gua persembahkan buat bangsa Indonesia yang sedang long weekend, terutama buat yang gak punya acara apa-apa, atau gak tau mau ngapain, atau bengong-bengong di rumah aja. Nah daripada bengong, ini gua kasih bacaan dah… Lumayan kan buat dibaca selama 3 hari… Hahaha. 😛

Kemaren ini gua ngebaca ebook yang berjudul NASIONAL.IS.ME. Intinya bagus sih buku ini. Mengajak orang untuk lebih optimis terhadap Indonesia, lebih mencintai Indonesia, dan pada akhirnya bersama-sama berusaha untuk mengubah Indonesia menjadi yang lebih baik. Semangat penulisnya emang cukup besar. Sangat berapi-api dan tentu saja sangat optimis. Langkah konkritnya pun ada. Si penulis nya ini adalah salah satu penggagas #IndonesiaUnite, dia juga aktif mengajak para pemuda Indonesia untuk lebih optimis melalui lagu-lagunya yang salah satunya berjudul Kami Tidak Takut, dan bahkan dia juga membentuk yayasan C3 (Community For Children With Cancer). Salut! Punya pemuda (dan beneran masih muda) seperti ini tentunya menjadi kebanggaan buat Indonesia.

Tapi ada sedikit ganjelan pas gua ngebaca ebook ini. Entah gua yang sensy atau salah nangkep, tapi ada kesan yang timbul bahwa nasionalisme itu hanya dimiliki oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di Indonesia.

Cerita pertama:

Adalah tentang sepasang suami istri yang sebenernya udah gak muda lagi. Udah cukup mapan di Indonesia, tapi trus dapet US greencard. Mereka akhirnya perlu pinjem uang karena perlu 100 juta sebagai deposit dan 50 juta untuk mengurus birokrasi supaya mereka bisa pindah ke Amerika (yang mana gua terheran-heran, karena pengalaman gua sendiri biaya untuk mendapatkan greencard itu cuma ratusan dollar kok, gua lupa persisnya, tapi yang pasti gak nyampe $1,000. Jadi gak mungkin kalo dirupiahkan jadi 50 juta kan?).

Nah menanggapi cerita ini (yang mana suami istri itu adalah teman penulis), penulis bilang:”Padahal, dengan uang sejumlah Rp 150.000.000,- mereka pun bisa mengubah nasib dengan tetap tinggal di Indonesia. They could. Cuma masalah cara aja”. Disini gua nangkepnya adalah: ngapain sih kudu pindah ke Amerika segala? Kalo bisa ya harusnya tinggal di Indo aja lah dan uang segitu dipakai untuk membangun bangsa…

Istri si penulis sendiri bilang, yah bagaimanapun juga, orang susah di Indonesia beda dengan orang susah di Amerika. Sekolah lebih banyak yang gratis. Yang di-counter lagi oleh si penulis. Katanya itu cuma masalah skala. Di Jakarta juga banyak sekolah gratis, cuma aja sekolah gratis di Jakarta bukan sekolah unggulan. Sama aja di Amerika gue rasa sekolah gratis ya sekolahnya rakyat. Kenapa kalau di Jakarta gak mau masuk sekolah rakyat tapi di Amerika mau? Hanya karena Amerika?

Cerita kedua:

Ini gua copy paste langsung dari ebook nya ya:”Di Singapore, kalau elo demonstrasi dijamin 7 turunan ga akan keterima kerja di perusahaan apapun di Singapore! Gila ga tuh? Dibunuh secara sosial istilahnya.”

Trus satu lagi, masih tentang Singapore: “Wong di Singapore ada aturan kalau elo pensiun kerja elo HARUS masuk rumah jompo. HARUS. Makanya sering kali elo liat di Singapore nenek nenek dan kakek kakek kerja jadi tukang sapu… demi tidak dijebloskan ke panti jompo. Mau lo jadi orang Singapore?”

Hmmm ngebaca cuplikan di atas, salah gak sih kalo gua jadi nangkepnya tuh: Ngapain sih pada pindah ke luar negeri? Bukannya pada tinggal di Indo aja dan membangun negeri ini?

Yang lucu, si penulis ini pernah membahas suatu topik pas lagi siaran di radio yaitu: “Orang-orang yang pernah di luar negeri cenderung skeptis sama Indonesia. Ga mau pulang. Ga suka Indonesia”.

Kok kalo berdasarkan kutipan di cerita pertama dan kedua justru gua merasa si penulis yang cenderung skeptis dengan negara lain selain Indonesia ya?

Nasionalisme, seperti yang ditulis di ebook tersebut (bersumber dari wikipedia.org), adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Menurut gua, berdasarkan definisi di atas dan juga berdasarkan yang gua yakini, nasionalisme bukan fanatisme lho. Seseorang yang nasionalis (nasionalisme itu paham, nasionalis adalah orang yang menganut paham nasionalisme) bukan berarti harus merasa bahwa negaranya adalah yang paling segala-galanya (paling benar, paling bagus), dan merasa negara lain gak bagus dan gak layak untuk ditinggali.

Menurut gua, nasionalisme itu gak dilihat dari domisili/tempat tinggal orangnya. Nasionalisme itu dari hati dan tingkah lakunya. Mau tinggal di Amerika, atau Singapore, atau di bulan pun, orang tetep bisa jadi seorang nasionalis.

Menurut gua, untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik, untuk membuat suatu gerakan yang bisa membantu Indonesia menjadi lebih baik itu gak selalu harus dilakukan di Indonesia.

Menurut gua, orang Indonesia yang sudah pindah ke negara lain tidak berarti dia itu gak nasionalis. Dan belum tentu orang Indonesia yang tinggal di Indonesia itu nasionalis.

Ini salah satu kutipan yang lain dari ebook tersebut:

If we don’t like what we see today, we change it. We make it happen. It may not be for the benefit of our own, but by God, it will be for the benefit of our children’s children. Gak ada pendidikan gratis? Kita dong, perbanyak beasiswa. Fasilitas kesehatan masih mahal? Bikin dong, yayasan. Jangan komplen doang. What we do, will effect others“.

Gua salut sama apa yang udah dilakukan oleh si penulis. Itu udah gua tulis di atas tadi ya. Tapi ngebaca kutipan yang ini kok kesannya arogan ya?

Good for him yang udah bisa membentuk yayasan untuk anak-anak kanker dan memberikan operasi gratis. Bagus banget malah. Tapi apa iya ngasih beasiswa atau membentuk yayasan kesehatan itu segampang itu? Ngasih beasiswa atau bikin yayasan kan perlu dana, perlu sponsor. Lha gua ngasih hadiah kuis aja cuma bisa CD dan DVD doang, boro-boro ngasih beasiswa. Hehe.

Gua setuju untuk jangan komplen doang. Gua setuju untuk kita harus membuat perubahan. Tapi bagi sebagian besar orang (termasuk gua), gak semudah itu untuk langsung mendirikan yayasan untuk ngasih beasiswa karena ngeliat pendidikan Indonesia yang gak gratis, gak semudah itu buat gua nyari sponsor untuk membentuk yayasan untuk ngasih layanan kesehatan gratis buat orang-orang gak mampu.

Perubahan itu bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Dan salah satu perubahan yang bisa menolong Indonesia untuk menjadi lebih baik adalah dengan pindah ke negara lain. Pindah ke negara lain yang lebih maju. Tentunya bila ada kesempatan.

1. Dengan pindah ke negara lain, akan membuka lahan kerja untuk orang lain di Indonesia.

Contohnya balik seperti di cerita pertama yang gua tulis di atas itu. Tertulis di ebook itu juga, kalo suami istri itu ngotot mau pindah ke Amerika karena mereka ngeliat adiknya yang udah di sana duluan. Adiknya itu mati-matian gak mau pulang ke Indonesia. Apakah karena benci? Apakah karena adiknya gak nasionalis? Bukan! Tapi karena dengan kerja di Amerika, adiknya bisa ngumpulin uang sampe bisa ngebangun rumah di Bogor! Bogor lho… Bogor itu Indonesia kan?

Disini coba dilihat dari sisi nasionalisme nya itu. Si adik tinggal di Amerika, bekerja mati-matian, dan uangnya lari ke Indonesia. Dengan membangun rumah berarti dia menciptakan lapangan kerja buat para tukang-tukang. Dengan membangun rumah berarti dia beli tanahnya dulu yang berarti bayar pajak. Dengan membangun rumah tentunya juga akan jadi pemasukan secara reguler dari pajak Bumi dan Bangunan… Untuk siapa? Untuk negara Indonesia!

Kalo si adik itu gak tinggal di Amerika tapi pulang ke Indonesia, apa iya dia bisa ngebangun rumah di Bogor? Yah kita gak tau. Bisa iya, tapi bisa juga tidak. Tapi yang pasti, dengan dia tinggal di Amerika, dia bisa ngebangun rumah di Indonesia. Itu salah satu bentuk perubahan buat Indonesia. Perubahan ke arah yang lebih baik. Membangun ekonomi negara.

Dan itu banyak lho yang begitu. Tinggal di luar negeri, mencari uang, trus uangnya dikirim ke Indonesia. Ngebangun rumah, membiayai sekolah adik-adiknya (emang belum dalam skala memberi beasiswa untuk ribuan anak, tapi at least udah ngasih beasiswa buat keluarganya kan), atau membiayai operasi atau masalah kesehatan keluarganya. Beban negara berkurang kan?

Trus lagi dengan adanya orang-orang yang tinggal di luar negeri, ini tentunya memicu terjadinya ekspor.

Contoh simpel nya aja nih, ekspor kecap manis cap Bango, atau Indomie, atau Tolak Angin, dan produk-produk Indonesia lainnya. Kalo produk kerajinan tangan emang banyak orang asing yang suka beli.

Tapi kalo produk-produk makanan atau obat-obatan, siapa yang beli? Ya orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri itu. So far ya, gua belum pernah tau ada orang bule yang suka beli Indomie atau kecap Bango, apalagi Tolak Angin. Barang-barang itu diekspor ke negara-negara di luar Indonesia untuk dibeli oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Belinya tentu dengan harga lebih mahal, karena proses ekspor ini melibatkan banyak hal. Selain produksi nya, juga distribusinya, dan pasti ada bea cukainya. Lapangan kerja lebih banyak, pemasukan negara lebih banyak juga, karena ada transaksi ekspor.

Masih belum yakin kalo banyak barang yang diekspor keluar Indonesia itu untuk dibeli oleh orang-orang Indonesia sendiri yang tinggal di negara lain? Minggu lalu gua beli materai! Mana mungkin ada orang yang bukan orang Indonesia beli materai? Lha materai itu kan gak laku di negara lain. Tapi di Amerika ada lho yang jual materai. Ya buat siapa lagi kalo bukan buat orang-orang Indonesia yang tinggal di Amerika? Yang perlu materai untuk ngirim surat misalnya. 

Dan materai yang nominal nya 6000 itu dijual seharga $5! Muahalll banget ya? Iya! Buat profit tokonya, udah pasti. Tapi juga ada buat ongkos kirimnya kan? Ongkos kirim berarti pemasukan buat jasa transportasi yang ada di Indonesia. Kalo gak ada satupun orang Indonesia yang tinggal di luar Indonesia, barang-barang kayak materai, kecap Bango, Indomie, Tolak Angin, gak akan diekspor. Yang berarti perusahaan transportasi berkurang ordernya, dan berarti beberapa lowongan pekerjaan akan ditutup.

2. Dengan pindah ke negara lain, akan lebih membuka wawasan dan punya kesempatan untuk belajar dari negara lain yang lebih maju.

Dari cerita yang kedua di atas, tentang yang katanya di Singapore gak boleh demonstrasi… Sebenernya ada apa sih orang Indo sama demonstrasi ini? Kesannya kok gak bisa hidup tanpa demonstrasi gitu ya? Apakah demonstrasi itu adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan aspirasi rakyat? Apakah demonstrasi itu adalah cara yang paling ampuh?

Kok rasanya enggak ya. Liat aja, seberapa banyak demonstrasi yang berhasil? Seberapa banyak demonstrasi yang gak ada hasilnya tapi malah bikin kacau? Malah bikin macet (macet itu membuat perekonomian jadi terhambat juga lho, karena transportasi dan jalur distribusi terhambat), malah jatuh korban jiwa, belum lagi kalo ditunggangi dengan muatan-muatan politik atau SARA.

Wah tambah kacau! Udah bukan rahasia juga kalo banyak demonstran yang sebenernya gak ngerti apa-apa. Ikut demo cuma karena dikasih uang! Atau bahkan cuma ikut-ikutan. Merusuh aja. Trus apa positifnya dari demonstrasi itu?

Coba lihat Singapore. Negara nya kecil tapi maju. Aman tentram tertib. Mereka gak pernah demonstrasi mungkin karena emang gak boleh (gua gak tau sih pastinya apa emang gitu atau gak) tapi mereka hidup makmur kok. Berarti demonstrasi bukan satu-satunya jalan. Gak boleh demonstrasi? Ya gak kenapa-napa.

Malah mungkin bagus, karena itu menutup kemungkinan demonstrasi yang ditunggangi muatan-muatan lain itu (dan ini yang sering terjadi di Indonesia kan?).

Trus tentang orang tua kalo udah gak kerja dijebloskan ke rumah jompo? First of all, buat yang tinggal di Singapore, coba kasih masukan, apa bener ada peraturan begini? Gua kok gak yakin ya. Soalnya gua tau kok ada orang-orang tua yang gak kerja tapi gak harus masuk rumah jompo. Mungkin ini balik lagi ke masalah skeptis ya. Karena udah terlanjur skeptis dengan negara lain (selain Indonesia), jadi pemilihan kata-katanya berkesan negatif.

Pertama yaitu kata ‘dijebloskan’. Rumah jompo itu bukan penjara lho! Dengan kata ‘dijebloskan’ itu kok seolah-olah dipaksa masuk ke tempat yang menyengsarakan gitu ya. Balik lagi gua gak tau di Singapore gimana, tapi rumah jompo kalo di Amerika itu rata-rata bagus kok. Orang-orang tua yang emang anak-anaknya tinggalnya jauh, mereka suka di rumah jompo. Karena di rumah jompo yang pasti ada caregiver nya. Ada yang merawat mereka. Trus mereka bisa melakukan aktifitas bersama-sama dengan teman-teman lain yang seumuran dengan mereka. Jadi rumah jompo itu bukan sesuatu yang menyeramkan lho!

Yang kedua adalah keseluruhan kalimatnya yang seolah menakut-nakuti. Seolah begini: hayo lu… kalo lu gak kerja lagi, bakal dijeblosin ke rumah jompo… Hayo lu.. hayo lu!!! Padahal kemungkinan besar, maksudnya adalah buat orang-orang tua yang gak mampu (karena udah gak kerja lagi), padahal kalo udah tua kan perlu perawatan, mereka ditampung di rumah jompo dan gratis (kalo ‘dijebloskan’ harusnya gratis dong ya.. :P). Jadi dengan begitu mereka gak perlu mikirin kalo sakit, beli obatnya gimana, karena gak punya uang. Lha kalo begini berarti bagus dong. Itu namanya pemerintahnya peduli dengan rakyatnya.

Lha kalo di Indonesia gimana? Orang tua yang gak punya uang, siapa yang nampung? Ya gak ada. Pemerintah ya cuek aja. Nah sebelum ada fasilitasnya di Indonesia, mendingan kalo emang ada kesempatan ya lebih baik orang tua-orang tua itu tinggal di Singapore dong kalo gitu? Biarin aja jadi beban pemerintah Singapore, yang berarti mengurangi beban pemerintah Indonesia kan? Berarti pemerintah Indonesia harusnya malah jadi punya dana lebih karena beberapa orang yang udah tinggal di negara lain udah gak membebani pemerintah Indo lagi. Dana lebih itu yang harusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan di Indonesia. Harusnya…

Hal lainnya lagi, yang kecil-kecil aja nih. Mengenai kebiasaan gak buang sampah sembarangan. Kebiasaan ini gak dipungkiri masih gak ada di Indonesia kan? Masih banyaaaak banget orang yang suka buang sampah sembarangan. Sementara kalo ada orang-orang Indo yang punya kesempatan untuk pindah ke negara lain contohnya Amerika atau Singapore, mau gak mau, mereka harus merubah kebiasaan itu. Dari terpaksa merubah kebiasaan karena tempat tinggal, akhirnya bisa mendarah daging. Kalo ngebuang sampah sembarangan itu gak enak ati sendiri. Masalah buang sampah ini emang harus jadi budaya. Dan itu sudah membudaya di orang-orang Amerika/Singapore. Bukan masalah denda aja. Denda itu gua rasa lebih diperuntukkan buat para turis yang masih belum merasa itu budaya mereka. Untuk orang lokal, hal tersebut sudah jadi budaya dan udah melekat di hati.

Baru beberapa hari yang lalu gua pergi makan siang ama temen kantor. Salah satunya (bule) abis beli buku. Pas kita lagi nyebrang jalan, struk pembelian bukunya gak sengaja terbang dan jatuh di jalanan. Dia langsung ngejar untuk ngambil struk nya (waktu itu lagi angin kenceng, jadi kertasnya bener-bener terbang dan harus dikejar buat nangkep!). Gua juga jadi ngebantuin karena gua kira dia mau simpen struknya mungkin buat arsip atau apa gitu (mungkin dia mau balikin bukunya atau gimana). Karena kita juga kalo beli apa-apa pasti struk nya kita arsip dulu untuk beberapa waktu. Eh ternyata bukan karena itu lho. Dia ngejar struk itu karena dia gak mau itu ntar jadi sampah di jalanan! Nah itu yang namanya sudah menjadi budaya.

Dengan kita tinggal di negara seperti Amerika/Singapore dan bergaul dengan orang-orang lokal, kita sedikit banyak akan mengambil budaya mereka itu (dan semoga yang diambil adalah budaya yang positif ya bukan yang negatif), salah satunya dengan membuang sampah pada tempatnya. Semua harus mulai dari diri sendiri kan dan baru setelah itu bisa effect others. Dengan kita membudayakan diri kita untuk gak buang sampah sembarangan, anak kita juga akan begitu. Begitu juga sodara atau teman kita yang lagi mengunjungi kita dari Indonesia, ngeliat kita begitu mungkin mereka akan terpengaruh juga. Begitu juga waktu kita pulang Indo untuk liburan atau memang balik pindah Indo, diharapkan budaya seperti itu bisa berlangsung terus dan akan mempengaruhi orang Indo yang lain.

Kalo kita gak pindah ke negara lain dan tetep tinggal di Indo, apa iya kita bisa membudayakan diri kita seperti itu (apakah kita bisa berubah)? Bisa iya, bisa tidak. Tapi kalo kita pindah ke negara lain, udah pasti iya. Karena itu emang jadi keharusan!

Kenapa negara-negara itu ada yang udah maju? Pasti karena lebih banyak budaya yang positifnya. Ya kan? Kalo negatif semua mah pasti gak maju-maju. Nah dengan tinggal di negara maju, harusnya kita akan menyerap budayanya juga, dan itu nantinya yang akan kita tularkan ke bangsa Indonesia. Dengan kita tinggal di negara lain, kita jadi belajar. Dan hasil pembelajaran itu untuk siapa? Secara langsung maupun gak langsung ya untuk Indonesia juga…

Sekali lagi, nasionalisme itu bukan fanatisme lho. Kita jangan kayak katak dalam tempurung. Apa yang ada di Indonesia bukan selalu adalah yang terbaik (makanya kita belum maju-maju juga kan). Kita perlu melihat apa yang dilakukan negara lain. Dan kalo emang ada (dan pasti ada) option yang lebih baik, kenapa kita harus bersikeras melakukan apa yang kita lakukan sekarang? Kita harus berani dan mau berubah! Selama itu untuk menjadi yang lebih baik…

3. Dengan pindah ke negara lain, akan menjadi duta negara Indonesia.

Si penulis mengumpamakan IndonesiaUnite itu seperti Serangan Umum 1 Maret (eh bukannya harusnya 11 Maret ya? Gua mah emang pelajaran Sejarahnya udah pada lupa sih… Tapi seinget gua bukannya 11 Maret ya? Hehe :P) dimana waktu itu Soeharto menduduki stasiun radio (eh apa kantor berita ya? Yah begitu dah intinya… :D) selama 6 jam untuk mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada! Nah Jakarta bombings pada 17 Juli 2009 yang lalu, #IndonesiaUnite menjadi trending topic dan pengguna Twitter sedunia akan melihat bahwa Indonesia tidak runtuh terhadap usaha teroris, bahwa Indonesia adalah negara besar yang bangga, bahwa Indonesia merupakan negara yang masih sangat tepat untuk dikunjungi. Tweet #IndonesiaUnite mayoritas dalam bahasa Inggris, karena kita semua sama-sama ingin agar tweet kita dibaca orang di belahan dunia lain. Begitu yang gua kutip dari ebook tersebut.

Gua setuju banget itu. Kita harus menunjukkan kepada dunia kalo Indonesia itu tidak runtuh, dan bahkan kalo Indonesia itu ada! Ternyata banyak lho orang asing yang gak tau Indonesia. Mereka taunya Bali. Kalo pun tau ya cuma pernah denger sekilas aja. Indonesia itu dimana, mereka gak tau.

Nah kalo tujuannya emang untuk menyebarkan ke dunia tentang Indonesia, jelas akan lebih baik dan lebih efektif kalo melalui orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri! Orang negara lain akan ngeliat sendiri, secara langsung, pake mata sendiri, mendengar secara langsung, pake kuping sendiri, dari orang Indonesia! Bukan cuma baca di Twitter, bukan cuma nonton di TV.

Ini contoh dari pengalaman gua aja ya. Udah beberapa orang gua jelasin Indonesia itu dimana, ada lho yang bahkan gak pernah denger Indonesia (padahal mereka ini orang berpendidikan). Yup, ternyata Indonesia itu gak seterkenal yang gua bayangkan.

Trus pas gua balik dari Indo, gua bawain oleh-oleh gantungan kunci wayang dan selendang batik. Mereka pada tanya apaan itu. Dan dari situ berkembang jadi gua ceritain tentang wayang dan juga batik. Begitu juga pas kemaren di sekolah Andrew ada International Day Festival, Esther bikin pukis untuk dibagiin disana. Tentunya dengan tulisan: Pukis from Indonesia. Dan kita juga ada ngasih CD Kris Dayanti ke salah satu kenalan kita di Gereja. Kalo bukan karena ada orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, orang-orang itu gak akan tau tentang wayang, tentang batik, tentang pukis, ataupun tentang Kris Dayanti.

Dan bahkan ada yang gak tau Indonesia!

Oh ya, dengan tinggal di luar negeri juga bukan berarti kita lupa sama produk Indonesia kok. Selain kecap Bango dkk tadi, gua juga beli sepatu dari Indo yang suka gua pake ke kantor. Setiap kali gua pake sepatu-sepatu itu, selalu menuai pujian dari orang kantor, baik yang kenal maupun gak kenal. Katanya sepatunya bagus, keliatannya nyaman banget. Dan ujung-ujungnya mereka tanya beli dimana. Yah tentu gua dengan bangga menjawab: beli di Indonesia! Kalo dari Twitter doang, mereka gak tau lho kalo produksi Indonesia itu keren-keren dan nyaman dipakai… 🙂

Itu baru yang gua lakukan. Belum lagi yang dilakukan oleh ribuan orang Indonesia yang tinggal di sini, dan ratusan ribu atau jutaan orang Indonesia lain yang tinggal di negara-negara lain di penjuru dunia.

Jadi, kalau emang ada kesempatannya, tinggal di luar negeri itu justru bisa membantu kemajuan Indonesia, membantu mengubah Indonesia menjadi lebih baik, dan juga membantu Indonesia supaya lebih terkenal!

Orang Indonesia yang tinggal di luar Indonesia justru lebih teruji nasionalisme nya. Karena setiap saat justru kita harus berusaha untuk menjadi sosok yang baik supaya citra Indonesia di mata bangsa lain itu bagus dan positif. Misalnya dengan ngeliat gua, orang-orang jadi mikir ooo ternyata orang Indonesia itu ganteng-ganteng ya…. Jadi bagus kan citranya? 😛

Jadi, jangan memandang rendah/miring orang-orang yang memilih untuk pindah ke negara lain. Itu sama sekali bukan karena kita benci Indo. Itu sama sekali gak ada hubungannya dengan nasionalisme kita.

Kita pindah karena kita dapet kesempatan untuk pindah. Kesempatan untuk mencoba mendapatkan yang lebih baik. Untuk siapa? Yah untuk kita pastinya… Tapi seperti yang gua tulis diatas, baik secara langsung maupun gak langsung, juga untuk Indonesia!

Hidup Indonesia! 🙂

PS. Tentang sekolah di Amerika. Relatif tentu masih lebih bagus dari sekolah di Indonesia. Sekolah yang gratis di Amerika memang sekolah rakyat. Tapi sekolah rakyat disini banyak yang unggulan lho! Banyak yang nilainya setara dengan sekolah-sekolah swasta yang mahal-mahal. Jadi emang kalo bisa sekolah di Amerika (dan gratis), ya gak ada salahnya juga kan?

Memang tidak dipungkiri kalo orang Indonesia itu banyak yang pinter. Banyak yang jenius. Seperti yang dicontohkan di ebook tersebut, bahwa juara kompetisi robotik adalah orang Indonesia, bukan orang Amerika.

Tapi inget… Jangan sombong duluan. 2 orang Indonesia mengalahkan Amerika apa berarti Indonesia langsung menjadi lebih pintar? Amerika tetep yang punya Microsoft, punya Apple, dan lain-lainnya. Kita tetep harus mengakui itu. Indonesia masih harus belajar banyak dari Amerika dan negara-negara maju yang lainnya. Itu gak perlu dipungkiri dan gak perlu malu. Bener gak? 😀

PS lagi. However, ebook nya tetep perlu dibaca kalo punya waktu (panjang soalnya… jauh lebih panjang dari postingan gua yang panjang ini! Hahaha). Bukunya membahas banyak hal, bukan cuma tentang orang yang tinggal di luar negeri kok. Tapi tentu gua gak membahas semuanya disini lah… Gua cuma ngebahas seputar yang tentang tinggal di luar negeri itu karena merasa tersentil. Hehehe.  Buat yang pengen baca ebook nya bisa download disini ya!

PS lagi dong (gak afdol kan kalo PS nya gak banyak). Selamat hari Waisak buat yang merayakan…. Selamat long weekend buat semuanya… Di sini kita juga long weekend lho, tapi hari Senin liburnya (Memorial Day).

[tweetmeme source=”ArmanTjandra” only_single=false]